Pernyataan akademisi Rocky Gerung yang dianggap menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menimbulkan reaksi dari relawan dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Banyak dari mereka yang menganggap bahwa pernyataan tersebut merupakan contoh dari ujaran kebencian. Pernyataan Rocky Gerung yang dianggap menghina Presiden Jokowi telah menjadi perhatian serius dari pihak PDIP, karena pernyataan semacam itu dianggap merusak citra dan martabat kepemimpinan Presiden serta mengancam keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gemuruh Kemarahan Relawan dan Politisi PDIP 

PDIP sebagai partai politik yang mendukung pemerintahan Jokowi telah mengecam pernyataan tersebut dan menuntut pertanggungjawaban atas ujaran kebencian yang dianggap merugikan dan menyinggung perasaan masyarakat.

Reaksi dari relawan dan politisi PDIP ini menunjukkan pentingnya menjaga etika berbicara dan bertindak dalam ranah publik, terutama dalam konteks kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Ujaran kebencian dan hinaan terhadap pemimpin negara atau siapapun harus dihindari agar tercipta suasana kebersamaan yang harmonis dan mendukung pembangunan bangsa yang berkelanjutan.

Kapitra Ampera, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pernyataan akademisi Rocky Gerung. Kapitra berpendapat bahwa pernyataan Rocky bukanlah kritik, melainkan ujaran kebencian terhadap pribadi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Akibatnya, Kapitra meminta pihak kepolisian untuk segera menangkap Rocky Gerung.

Kapitra Ampera menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh Rocky Gerung telah mengalami perubahan dari komunikasi ilmiah menjadi komunikasi premanisme. Menurutnya, Rocky tidak lagi menggunakan standar akal sehat dalam berkomunikasi, melainkan menggunakan pendekatan yang lebih kasar dan agresif dalam menyampaikan pendapatnya.

Ia juga berpendapat bahwa sebagai seorang akademisi, Rocky Gerung tidak seharusnya menyerang personal Presiden Jokowi, terlebih terhadap kehormatan pribadi Presiden Jokowi yang dianggap tidak pantas. Menyerang pribadi seseorang, terutama seorang pemimpin negara, bukanlah tindakan yang etis dan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam komunikasi publik.

Baca Juga :  10 Rеkоmеndаѕі Juruѕаn Kulіаh dеngаn Prоѕреk Kеrjа Bаguѕ dі Erа 5.0

Dalam kesempatan orasinya di hadapan massa buruh, Rocky seharusnya menghindari untuk secara tegas menyebutkan nama Presiden Jokowi. Karena sebagai seorang presiden, Jokowi mewakili lembaga negara, bukan hanya sebagai individu pribadi. Oleh karena itu, menyebutkan nama presiden dalam konteks tertentu dapat berdampak negatif pada kehormatan pribadi presiden.

Baca Juga : Airlangga Sebut Golkar Sebagai Partai Besar dengan Langkah Independen Meskipun Dicap Bergantung ke Penguasa

Perbuatan Rocky Gerung yang menyerang kehormatan personal Jokowi dapat dianggap sebagai delik karena menyerang individu secara pribadi. Menurutnya, Rocky tidak bisa memisahkan antara Jokowi sebagai presiden dan Jokowi sebagai individu pribadi. Tindakan menyebut Jokowi sebagai “bajingan” dianggap sebagai serangan personal yang dapat merugikan kehormatan pribadi seseorang. Saat menyebutkan seseorang sebagai “bajingan,” hal tersebut mengacu pada individu manusia dan bukan pada jabatan atau badan tertentu. Dalam pandangan Kapitra, tindakan seperti ini harus dikoreksi dan diberi pertanggungjawaban secara hukum, sebab dalam konteks hukum, menyerang kehormatan pribadi seseorang bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik atau penghinaan, merupakan tindakan ilegal dan dapat ditindaklanjuti oleh hukum. 

Pelajaran Untuk Rocky Gerung

Berita terupdate Kapitra Ampera menegaskan bahwa pihak kepolisian harus bertindak tegas dan menangkap Rocky Gerung karena dianggap telah menyampaikan pemikiran yang tidak sehat dan merendahkan. Rocky harus diberi pembelajaran karena apa yang ia klaim sebagai akal sehat sebenarnya adalah akal bulus atau kenakalan berpikir dalam istilah filsafat. Sebagai seorang intelektual, seseorang seharusnya tidak menggunakan perkataan-perkataan yang kasar atau merendahkan. Hal ini dikenal dengan polemik kebudayaan, yang telah ada sejak zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles, lanjutnya.

Dalam filsafat klasik, polemik kebudayaan merujuk pada diskusi dan debat yang bermartabat dan dijalankan dengan etika dan sopan santun. Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran dan pemahaman yang lebih mendalam melalui pertukaran gagasan dan argumen yang rasional. Penggunaan bahasa yang kasar atau merendahkan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai intelektualitas dan tidak membantu dalam mencapai pemahaman yang baik.

Baca Juga :  Surуа Pаlоh Bеrtеmu Jоkоwі dі Iѕtаnа, NаѕDеm: Bісаrа Dinamika Politik

Kapitra menegaskan bahwa Rocky Gerung harus mendapatkan pembelajaran dari perbuatannya agar tidak mengulangi tindakan yang tidak pantas di masa yang akan datang. Dengan adanya pembelajaran ini, diharapkan Rocky dapat mengubah pemikiran “liar” yang diklaimnya sebagai akal sehat, sehingga perilakunya dalam berkomunikasi lebih terkontrol dan sesuai dengan etika dan norma-norma yang berlaku.

Kapitra berpendapat bahwa penangkapan Rocky sebagai bentuk shock terapi untuk mencegah orang lain menyalahgunakan kebebasan berbicara atas nama demokrasi dan akademisi. Tindakan seperti ini dianggap sebagai kejahatan yang melebihi batas dan harus dihentikan agar tidak merusak tatanan sosial dan norma-norma yang berlaku.

Dalam pandangan Kapitra, tindakan Rocky telah menyalahi etika berbicara sebagai seorang intelektual dan akademisi. Ia percaya bahwa kebebasan berbicara harus digunakan secara bertanggung jawab dan tidak boleh merendahkan atau menghina orang lain. Oleh karena itu, ia mendesak pihak kepolisian untuk bertindak segera guna mencegah penyebaran pemikiran yang merugikan dan tidak beretika. 

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *